Kisah Cinta Rumah Tangga
Cintanya Lelaki Kepada Wanita
Suami saya adalah seorang editor media online, Awal mula bersamanya saya mencintai sifatnya yang pendiam dan serasa hangat tatkala bersandar dibahunya.
5 Tahun sudah usia pernikahan kami, saya harus akui bahwa saya sudah mulai merasa letih..lelah dan bosan. Alasan-alasan saya mencintainya dulu sudah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.
Saya seorang wanita yang sentimental dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang senantiasa mengharapkan belaian ayah dan ibunya. Tetapi, semua itu tidak pernah saya dapati saat ini. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitifnya kurang, kadang terlihat cuek terhadapku. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam perkawinan kami telah mematahkan semua harapan saya terhadap cinta yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya, bahwa saya inginkan penceraian.
“Mengapa?”Dia bertanya dengan nada terkejut.
“Aku sudah capek bang, Aku lihat sekarang Abang tidak sayang lagi tidak seperti dulu.”
Setelah melihat jawabanku tadi, dia diam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, nampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.
Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang lelaki yang tidak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang saya harapkan darinya?
Dan akhirnya dia bertanya. “Apa yang bisa Abang lakukan untuk mengubah fikiran Adik?”
Saya merenung dan memperhatikan matanya dalam-dalam dan menjawab dengan perlahan.
“Aku ada 1 pertanyaan bang...kalau Abang bisa menjawabnya mungkin adik akan mengubah pikiran...
Bang seandainya nih, Adik menyukai sekuntum bunga cantik yang ada ditebing gunung dan kita berdua tahu jika Abang memanjat gunung-gunung itu, Abang akan mati. Apakah yang Abang lakukan untuk istrimu ini?”
Dia termenung dan akhirnya berkata, “Abang akan memberikan jawabannya esok.”
Hati saya terus gundah mendengar responnya itu.
Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan coretan tangannya dibawah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan…
‘Sayangku, Abang tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi izinkan Abang untuk menjelaskan alasannya.” Kalimah pertama itu menghancurkan hati saya. Namun, saya masih terus ingin membacanya.
“Adik ketika membuka komputer, dan tiba-tiba komputer ngadat..adik bingung meminta abang membenahinya”
“Adik selalu lupa membawa kunci rumah ketika keluar, dan menelpon Abang yang sedang kerja..abang harus rela ditegur atasan agar adik bisa istirahat dirumah.”
“Adik lupa ketika adik merajuk minta jalan-jalan..abang harus berpura-pura sehat mengantarnya, tak lebih agar adik tidak jenuh didalam rumah terus”
“Adik lupa waktu meriang ketika habis "kehujanan" gara-gara pulang arisan dengan teman-teman adik..dan meminta abang memijit badan adik”
"Adik lebih suka duduk dirumah dan menonton TV, dan Abang selalu risau dengan kondisi adik. Dan abang membelihan sesuatu yang bisa menghibur adik dirumah atau berkelakar dengan yang abang alami."
"Adik selalu menatap komputer, gadget dan membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan adik. Abang harus menjaga mata agar kelak ketika tua nanti abang bisa menolong mengguntingkan kukumu dan memandikanmu"
“Tetapi sayangku, Abang tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, Abang tidak sanggup melihat airmatamu mengalir menangisi kematian Abang.”
“Sayangku, Abang tahu, mungkin abang tidak bisa mencintaimu dengan sempurna.”
“Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan oleh tangan, kaki, mata Abang tidak cukup bagi adik. Abang tidak akan menahan diri adik untuk mencari tangan, kaki dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”
Airmata saya jatuh diatas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk terus membacanya lagi.
“Dan sekarang, Adik telah selesai membaca jawaban Abang. Jika Adik puas dengan semua jawaban ini, dan tetap inginkan Abang tinggal di rumah ini, tolong bukakan pintu rumah kita, Abang sekarang sedang berdiri di luar sana menunggu jawaban Adik.”
“Tetapi, jika Adik tidak puas hati, sayangku…biarkan Abang masuk untuk mengemaskan barang-barang Abang, dan Abang tidak akan menyulitkan hidupmu. Percayalah, bahagia Abang bila Adik bahagia.”
Saya tertegun. Segera mata memandang pintu yang terkatup rapat. Lalu saya segera berlari membukakan pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah gusar sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaan saya.
Oh! Kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintai saya...
Comments
Post a Comment