Panduan ilmiah NU: Larangan pemimpin bukan Islam
Nahdatul Ulama (foto), |
Bahtsul Masail Ke-2
PCNU Kota Surabaya Periode 2015-2020 M
Di Masjid Sabil Al-Mutathahhirin Barata Jaya Surabaya, Ahad 25 September 2016.
MUSAHIH :
KH. Mas Sulaiman
KH. Mas Mahfudz
KH. Ahmad Asyhar Shofwan M.Pd.I.
KH. Farohi Haroen
KH. M. Ali Maghfur Syadzili Iskandar. S.Pd.I
PERUMUS :
K. Makruf Khozin
KH. Sholihin Hasan, M.H.I.
K. Luqmanul Hakim, S.Pd.I
K. Mas Gholib Basyaiban
MODERATOR :
Ahmad Muntaha AM
NOTULEN :
KH. Muhammad Muhgits
K. Nur Hadi, S.H.I
DUKUNGAN KEPADA PEMIMPIN NON MUSLIM (PCNU )
DESKRIPSI MASALAH
Sistem demokrasi dan pemilihan langsung yang berlaku di Indonesia memungkinkan semua orang berkompetisi menjadi kandidat pimpinan baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga terurailah monopoli etnis, ras maupun agama untuk menduduki tampuk kepempimpinan.
Namun demikian, secara riil hal ini memunculkan problem tersendiri dan menjadi perbincangan hangat ketika di suatu daerah yang mayoritas masyarakatnya menganut agama atau merupakan suku/ras tertentu, sementara bakal calon pemimpin yang ada dan berkemungkinan memenangkan suksesi justru dari penganut agama atau suku/ras lainnya.
Semisal daerah mayoritas muslim, justru yang kuat ternyata dari non muslim. Selain itu, adapula seorang muslim yang mungkin saja secara politik lebih dekat dengan non muslim sehingga menjadi tim suksesnya.
PERTANYAAN
1. Apakah seorang muslim boleh memilih kandidat pemimpin non muslim, baik di tingkat daerah seperti Bupati/Walikota/Wakil, maupun di tingkat yang lebih tinggi seperti Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden ?
2. Apakah hukum memilih calon wakil rakyat (DPRD/DPR, DPD) sama hukumnya dengan memilih kandidat pemimpin non muslim ?
3. Apakah seorang muslim dibenarkan menjadi tim sukses calon pemimpin/wakil rakyat non muslim (eksekutif dan legislatif), karena kedekatan politik dan pertimbangan politik lain yang terkadang tidak dipahami oleh masyarakat pada umumnya ?
*MUKADDIMAH*
Pembahasan permasalahan ini tidak dimaksudkan untuk menebarkan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) dan merusak hubungan lahiriah (muamalah zhahirah) yang telah terjalin secara baik antara muslim dan non muslim di Indonesia. Namun benar-benar dimaksudkan sebagai petunjuk (irsyad) bagi kaum muslimin dalam berpartisipasi membangun negeri sesuai ajaran agama yang diyakininya.
Pembahasan serupa pernah diselenggarakan dalam Muktamar NU Ke-30 di PP. Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur, 21-27 November 1999.
Namun keputusan tersebut tidak secara terang-terangan mencantumkan, bahwa non muslim yang menangani urusan kaum muslimin dalam kondisi darurat wajib harus dicegah agar tidak sampai menguasai dan mendominasi (istila’) satu orang pun dari kaum muslimin. Sebab itu, keputusan dalam pembahasan ini secara prinsip tidak bertentangan dengan keputusan Muktamar NU tersebut.
*Jawaban 1*
Hukum memilih pemimpin non muslim seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden adalah haram.
Sebab, memilihnya berarti mengangkatnya sebagai pemimpin dan menjadikan kaum muslimin di bawah kekuasaan, dominasi dan superioritasnya. Hal ini juga selaras dengan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ. (المائدة: /51).
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai penolong/penguasa. Sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Orang dari kalian yang menolong mereka, maka ia termasuk bagian darinya. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Maidah : 51).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ. وَاتَّقُوا اللهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (المائدة: 57).
“Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan orang-orang yang menjadikan agama kalian sebagai gurauan dan permainan dari golongan ahli kitab dari sebelum kalian dan orang-orang kafir sebagai penolong/penguasa. Bertakwalah kalian kepada Allah jikan kalian adalah orang-orang yang beriman. (QS. Al-Maidah: 57).
*Beberapa Pertimbangan*
Dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan non muslim untuk menangani urusan kaum muslimin adalah haram.
Seperti keharaman meminta tolong non muslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-mal dan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz (semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum muslimin secara umum.
Walau ada pendapat ulama (Syaikh Ali Syibramalisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada non muslim -baik karena tidak adanya muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya-, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.
Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya baik dalam ucapan maupun perbuatan terhadap rakyat yang muslim sangat besar dan tidak terhindarkan.
Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum muslimin.
Meskipun dalam beberapa kasus yang disebutkan pada poin (1) terdapat khilaf, seperti menjadikan non muslim sebagai wazir at-tanfidz dan menjadikannya sebagai petugas penarik pajak, namun pendapat yang lemah yang membolehkannya ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan memilih pemimpin non muslim.
Sebab unsur kekuasaan, dominasi dan superioritas non muslim atas kaum muslimin dalam kasus-kasus tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada.
Tidak sebagimana dalam kasus pemimpin non muslim menjadi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Presiden/Wakil Presiden, yang meskipun secara legal formal sistem tata negara modern merupakan lembaga eksekutif atau pelaksana saja, namun pada kenyataannya unsur kekuasaan, dominasi dan superioritasnya terhadap rakyat muslim sangat besar.
Selain itu, kewenangannya dalam mengambil berbagai kebijakan juga sangat besar, berbeda dengan wazir at-tanfidz maupun petugas penarik pajak yang hanya murni sebagai pelaksana saja.
Sistem trias politica yang membagi kekuasaan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang diterapkan di Indonesia tidak dapat menafikan unsur dominasi dan superioritas masing-masing lembaga terhadap rakyat.
Karena itu, asumsi bahwa rumusan hukum fikih mazhab sama sekali tidak bisa diterapkan dalam konteks perpolitikan sekarang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Asumsi memilih pemimpin non muslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum muslimin.
Pendapat ulama yang terkesan lebih mengutamakan kekuasaan sekuler (baca: kafir) yang adil daripada kekuasaan Islam yang zalim dan jargon:
Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim, harus dipahami dalam konteks menyampaikan urgensitas keadilan bagi suatu pemerintahan, sebagaimana pendapat ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, bukan dalam konteks melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.
Asumsi bahwa penafsiran kata auliya dengan makna pemimpin/penguasa dalam beberapa ayat yang menyinggung hubungan muslim dan non muslim, semisal QS. Al-Maidah: 51 dan 57, adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin non muslim, tidak sepenuhnya benar.
Sebab ayat-ayat tersebut oleh sebagian ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum muslimin kepada non muslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz RA sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah. Dimuat dalam Husn as-Suluk al-Hafizh Daulah al-Muluk (h. 161) karya Muhammad bin Muhammad al-Mushili as-Syafii, Maalim al-Qurbah fi Thalab al-Hisbah (h. 44) karya Ibn al-Ukhuwwah al-Qurasyi as-Syafi’i, dan Siraj al-Muluk (h. 111) karya Muhamad bin al-Walid at-Tharthusyi al-Maliki.
(Sumber: taqiyyuddinalawiy)
Comments
Post a Comment