Mengganti Kata Kafir Menjadi Nonmuslim, Apakah Termasuk Ingin Merubah Hukum Islam?
Beberapa hari ini saya galau tidak ketulungan dengan berita-berita di internet terkait munas NU yang hendak mengganti kata kafir menjadi nonmuslim. Mau tabayun kemana coba?
Sementara berita di media-media nasional terus menghiasi, dan anehnya tidak ada penyangkalan atau nota keberatan dari internal NU. Hanya beberapa akun di facebook saja yg mencoba klarifikasi, semacam Kiyai Ma'ruf Khozin, Kiyai Abdul Wahab Ahmad beliau hafidzahumallah berusaha mendudukan permasalahan terkait isu yang semakin menyudutkan ormas NU.
Berikut kutipan dari Yai Ma'ruf Khozin
Rancangan jawaban Munas ini masih dalam penyusunan redaksi oleh Tim LBM diantaranya adalah Ust. Taha Ahmadmun.Namun karena sudah terlanjur menjadi berita yang ditafsirkan sesuai nafsu kebencian kepada NU, maka perlu saya jelaskan beberapa poin yang dimaksud.Terminologi dalam Kitab Fikih kita ada Darul Islam dan Darul Kuffar. Sementara warga negara yang terdapat dalam Darul Islam ada beberapa sebutan:
1. Kafir Harbi, yaitu orang yang memerangi umat Islam dan boleh diperangi
2. Kafir Dzimmi, orang yang membayar jizyah untuk mendapatkan perlindungan. Tidak boleh diperangi.
3. Kafir Mu'ahad, orang yang melakukan perjanjian damai dalam beberapa tahun. Tidak boleh diperangi.
4. Kafir Musta'min, orang yang meminta perlindungan. Tidak boleh diperangi.Yang dimaksud keputusan Munas NU bahwa Non Muslim di Indonesia tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut.
Sehingga disebut warga negara dalam nation state. (Konfirmasi ini saya dapatkan dari KH Asyhari Ketua LBM PWNU Jatim).Sama sekali tidak ada hubungan dengan istilah Kafir i'tiqad atau kufur nikmat dll, apalagi sampai mengingkari adanya kalimat "Kafir" di dalam Al-Qur'an atau merubah Surat Al-Kafirun menjadi Surat "Non Muslimin". Wal iyadzu Billah.
(Selesai Kutipan)
Namun bola panas terus bergulir hingga saat ini, umatpun perpecah bahkan adu argumen terkait penggatian kata kafir menjadi non-muslim. Salah satunya Kiayi Alfitri, sebagai berikut;
Terkait dengan penggunaan label 'Kafir', kita semestinya terlebih dahulu memetakan ranah persoalan ke dalam tiga kategori, yaitu:
1). Memanggil non-muslim secara langsung saat berhadap-hadapan dengan panggilan 'Kafir'. Misalnya, si A menyapa kawannya yang non-muslim dengan sapaan 'Kafir'.
Untuk kategori ini, memang tidak ada salahnya bila seorang muslim berusaha untuk menjauhi panggilan seperti itu. Sebab, panggilan seperti ini lebih berdampak pada psikologi non-muslim, ketimbang menyampaikan kritik Teologi pada mereka.
Dan dalam kategori ini pulalah, seorang ulama Hanafi menyebut hukuman Ta`zir bagi muslim yang menyapa atau memanggil Yahudi dengan panggilan 'Kafir' secara langsung, sementara si Yahudi tersebut merasa tersinggung atau keberatan dengan panggilan seperti itu.
2). Menyebut non-muslim dengan sebutan 'Kafir' secara tidak langsung. Misalnya, seorang penceramah, Kiyai, Pengajar dan Kristolog, menyebut hal ini dalam forum-forum ilmiah atau kajian Islami.
Untuk kategori ini, tidak ada salahnya bila seorang muslim lakukan. Sebab, konteksnya jelas bukan saat memanggil secara langsung dan bukan sedang berhadap-hadapan, apalagi ditujukan pada personal tertentu.
Lagi pula, kalau dalam kategori ini juga dilarang menyebut sebutan 'Kafir', maka akan berdampak pada 'pemerkosaan' terhadap penggunaan teks-teks Quran maupun Sunnah yang jelas-jelas menyebutkan term 'Kafir/Kuffar' dan 'Musyrik', untuk kalangan di luar Islam. Bahkan, secara tegas Quran menvonis orang yang berpaham Trinitas itu telah kafir.
3). Menyebut non-muslim dengan sebutan 'Kafir' dalam redaksi UU, Peraturan Kenegaraan atau istilah-istilah resmi Kenegaraan.
Untuk kategori ini, memang kurang tepat bila term-term semacam itu dipakai. Sebab, konteksnya jelas bukan terkait dengan prinsip atau persoalan keagamaan, dan lagi pula dalam Piagam Madinah tidak ditemukan penggunaan kata 'Kafir' untuk penduduk Madinah yang beragama Yahudi.
Walhasil, alasan 'akan menyakiti' dan 'kekerasan Teologi' tidak bisa diberlakukan secara general di semua konteks dan kondisi. Karena itu, menurut saya, larangan menggunakan istilah 'Kafir' secara multlak dengan memakai alasan secara general, adalah sebuah pandangan dan kesimpulan yang serampangan.
Wallahua`lam
Beliau juga menambahkan,
Kalau non-muslim di Indonesia tidak bisa secara definitif disebut sebagai Kafir Dzimmy, Harby, Mua`hid dan Musta'min, maka diantara konsekuensinya adalah:
PERTAMA:
Jangan diterapkan Hadis yang berkenaan dengan salahsatu sebutan di atas, terutama untuk Kafir Dzimmy, pada non-muslim yang ada di Indonesia.
Contohnya, ada Hadis berbunyi:
من آذى ذميًّا فقد آذاني
"Siapa yang menyakiti Dzimmy, maka berarti dia telah menyakitiku".
KEDUA:
Jangan diterapkan pernyataan ulama klasik yang berkenaan dengan Kafir Dzimmy dalam karya-karya mereka, pada non-muslim yang ada di Indonesia.
Contohnya, pernyataan beberapa ulama dalam mazhab Hanafi yang berbunyi:
لو قال ليهودي أو مجوسي : يا كافر ، يأثم إن شق عليه.
"Jika orang berkata pada seorang Yahudi atau Majusi: 'Hei Kafir!', maka dia dianggap berdosa bila si Yahudi/Majusy tidak berkenan dengan itu".
ولو قال لذمي : يا كافر ، يأثم إن شق عليه ، كذا في القنية.
"Kalau ada yang berkata pada Dzimmy: 'Hei Kafir!', maka dia dianggap berdosa bila si Dzimmy tidak berkenan dengan itu. Demikian yang ada dalam kitab al-Qinyah".
Wallahua`lam
Satu hal untuk lebih berimbang, kami paparkan juga beberapa orang yang menolak konsep penggantian kata kafir menjadi nonmuslim, berikut ini saya ambilkan dari Ustadz Al-Falihin
Istilah Warga Negara Non Muslim, Bukti Pembebekan Intelektual dan Daur Ulang Ideologi Sampah Kaum Liberalis
Dicetuskannya istilah "Muwathin/Muwathinun" atau "Warga Negara Non Muslim" sebagai hasil keputusan bahtsul masail dalam Munas NU di Banjar kemarin itu ternyata tidak lain adalah sampah daur ulang yg pernah dicetuskan oleh seorang liberalis Mesir bernama Mahmud Fahmi Abdurrazzaq Huwaidi atau yg lebih dikenal dgn nama Fahmi Huwaidi.
Orang inilah yang dalam sebuah artikelnya yang berjudul Watsaniyûn Hum ‘Abadatun Nushûsh (Paganis itu adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari’at) menjuluki orang Islam (muslim) yang berpegang teguh dgn nash syariat sebagai orang kolot dan paganis (musyrik). Dia menggambarkan hal tersebut sebagai paganisme baru (watsaniyah jadîdah). Read more: https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html
Pemikiran keblinger tokoh inilah yg kemudian diadopsi oleh para tokoh JIL di Indonesia semisal Ulil Abshar Abdalla.
Di tahun 2003, dalam artikel yg ditulisnya, Ulil mengatakan sbb,
"Ada sebuah buku yang saya baca baru-baru ini, karangan Fahmi Huwaidi, penulis Mesir yang mewakili kalangan enlightened Islamist, berjudul 'Muwathinun La Dzimmiyyun” (Warga Negara, Bukan Orang-Orang Dzimmi). Buku itu memberikan interpretasi yang sangat baik dan kritis mengenai hubungan antara warga negara Muslim dan warga negara non-Muslim. Dengan sangat jelas dan tanpa tedeng aling-aling, Huwaidi mengatakan bahwa konsep klasik tentang dzimmi (warga negara non-muslim yang dilindungi), meskipun workable pada zamannya, sudah tidak bisa lagi dipakai sekarang ini." (Fahmi Huwaidi dan Konsep “Dzimmah” oleh Ulil Abshar Abdalla di situs: islamlib.com/ag…/minoritas/fahmi-huwaidi-dan-konsep-dzimmah/)
Kaum Liberalis yg mengaku menolak sikap "pembebekan intelektual" yang tak kritis terhadap apa-apa yang datang dari “luar”; entah “luar” itu diartikan “barat” atau “timur”, faktanya justru melakukan pembebekan intelektual kepada seorang Fahmi Huwaidiy dalam konsep warga negara nonmuslim. Menurutnya, umat Islam tidak bisa menghindar dari kenyataan baru yang sama sekali berbeda di mana dasar “keanggotaan dalam sebuah negara” ditentukan bukan oleh agama, tetapi oleh prinsip muwathanah, atau nasionalitas. Yang menghubungkan antara satu dan lain orang dalam sebuah negara bukan karena mereka satu agama, tetapi karena kesatuan nasionalitas.
Di tahun 2015, isu tentang istilah warga negara non muslim ini pernah dicoba diangkat kembali melalui sebuah buku yg ditulis oleh pemikir liberal M. Guntur Romli, "Islam Kita Islam Nusantara". Rujukannya dalam hal ini pun sama sekali tidak berbeda, yaitu: Fahmi Huwaidi. (Lihat gambar ss)
Dan di tahun 2019 ini, barang dagangan ini pun dicoba untuk diedarkan lagi di pasaran dgn dibungkus kemasan cantik bernama bahtsul masail, dan dgn merek pemasaran bernama Hasil Keputusan Munas Alim Ulama NU, yg kemudian dipasarkan melalui sebuah lapak marketplace bernama Islam Nusantara yg dikesankan anti diskriminatif supaya lebih menarik minat banyak konsumen.
Sementara berita di media-media nasional terus menghiasi, dan anehnya tidak ada penyangkalan atau nota keberatan dari internal NU. Hanya beberapa akun di facebook saja yg mencoba klarifikasi, semacam Kiyai Ma'ruf Khozin, Kiyai Abdul Wahab Ahmad beliau hafidzahumallah berusaha mendudukan permasalahan terkait isu yang semakin menyudutkan ormas NU.
Berikut kutipan dari Yai Ma'ruf Khozin
Rancangan jawaban Munas ini masih dalam penyusunan redaksi oleh Tim LBM diantaranya adalah Ust. Taha Ahmadmun.Namun karena sudah terlanjur menjadi berita yang ditafsirkan sesuai nafsu kebencian kepada NU, maka perlu saya jelaskan beberapa poin yang dimaksud.Terminologi dalam Kitab Fikih kita ada Darul Islam dan Darul Kuffar. Sementara warga negara yang terdapat dalam Darul Islam ada beberapa sebutan:
1. Kafir Harbi, yaitu orang yang memerangi umat Islam dan boleh diperangi
2. Kafir Dzimmi, orang yang membayar jizyah untuk mendapatkan perlindungan. Tidak boleh diperangi.
3. Kafir Mu'ahad, orang yang melakukan perjanjian damai dalam beberapa tahun. Tidak boleh diperangi.
4. Kafir Musta'min, orang yang meminta perlindungan. Tidak boleh diperangi.Yang dimaksud keputusan Munas NU bahwa Non Muslim di Indonesia tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut.
Sehingga disebut warga negara dalam nation state. (Konfirmasi ini saya dapatkan dari KH Asyhari Ketua LBM PWNU Jatim).Sama sekali tidak ada hubungan dengan istilah Kafir i'tiqad atau kufur nikmat dll, apalagi sampai mengingkari adanya kalimat "Kafir" di dalam Al-Qur'an atau merubah Surat Al-Kafirun menjadi Surat "Non Muslimin". Wal iyadzu Billah.
(Selesai Kutipan)
Namun bola panas terus bergulir hingga saat ini, umatpun perpecah bahkan adu argumen terkait penggatian kata kafir menjadi non-muslim. Salah satunya Kiayi Alfitri, sebagai berikut;
Terkait dengan penggunaan label 'Kafir', kita semestinya terlebih dahulu memetakan ranah persoalan ke dalam tiga kategori, yaitu:
1). Memanggil non-muslim secara langsung saat berhadap-hadapan dengan panggilan 'Kafir'. Misalnya, si A menyapa kawannya yang non-muslim dengan sapaan 'Kafir'.
Untuk kategori ini, memang tidak ada salahnya bila seorang muslim berusaha untuk menjauhi panggilan seperti itu. Sebab, panggilan seperti ini lebih berdampak pada psikologi non-muslim, ketimbang menyampaikan kritik Teologi pada mereka.
Dan dalam kategori ini pulalah, seorang ulama Hanafi menyebut hukuman Ta`zir bagi muslim yang menyapa atau memanggil Yahudi dengan panggilan 'Kafir' secara langsung, sementara si Yahudi tersebut merasa tersinggung atau keberatan dengan panggilan seperti itu.
2). Menyebut non-muslim dengan sebutan 'Kafir' secara tidak langsung. Misalnya, seorang penceramah, Kiyai, Pengajar dan Kristolog, menyebut hal ini dalam forum-forum ilmiah atau kajian Islami.
Untuk kategori ini, tidak ada salahnya bila seorang muslim lakukan. Sebab, konteksnya jelas bukan saat memanggil secara langsung dan bukan sedang berhadap-hadapan, apalagi ditujukan pada personal tertentu.
Lagi pula, kalau dalam kategori ini juga dilarang menyebut sebutan 'Kafir', maka akan berdampak pada 'pemerkosaan' terhadap penggunaan teks-teks Quran maupun Sunnah yang jelas-jelas menyebutkan term 'Kafir/Kuffar' dan 'Musyrik', untuk kalangan di luar Islam. Bahkan, secara tegas Quran menvonis orang yang berpaham Trinitas itu telah kafir.
3). Menyebut non-muslim dengan sebutan 'Kafir' dalam redaksi UU, Peraturan Kenegaraan atau istilah-istilah resmi Kenegaraan.
Untuk kategori ini, memang kurang tepat bila term-term semacam itu dipakai. Sebab, konteksnya jelas bukan terkait dengan prinsip atau persoalan keagamaan, dan lagi pula dalam Piagam Madinah tidak ditemukan penggunaan kata 'Kafir' untuk penduduk Madinah yang beragama Yahudi.
Walhasil, alasan 'akan menyakiti' dan 'kekerasan Teologi' tidak bisa diberlakukan secara general di semua konteks dan kondisi. Karena itu, menurut saya, larangan menggunakan istilah 'Kafir' secara multlak dengan memakai alasan secara general, adalah sebuah pandangan dan kesimpulan yang serampangan.
Wallahua`lam
Beliau juga menambahkan,
Kalau non-muslim di Indonesia tidak bisa secara definitif disebut sebagai Kafir Dzimmy, Harby, Mua`hid dan Musta'min, maka diantara konsekuensinya adalah:
PERTAMA:
Jangan diterapkan Hadis yang berkenaan dengan salahsatu sebutan di atas, terutama untuk Kafir Dzimmy, pada non-muslim yang ada di Indonesia.
Contohnya, ada Hadis berbunyi:
من آذى ذميًّا فقد آذاني
"Siapa yang menyakiti Dzimmy, maka berarti dia telah menyakitiku".
KEDUA:
Jangan diterapkan pernyataan ulama klasik yang berkenaan dengan Kafir Dzimmy dalam karya-karya mereka, pada non-muslim yang ada di Indonesia.
Contohnya, pernyataan beberapa ulama dalam mazhab Hanafi yang berbunyi:
لو قال ليهودي أو مجوسي : يا كافر ، يأثم إن شق عليه.
"Jika orang berkata pada seorang Yahudi atau Majusi: 'Hei Kafir!', maka dia dianggap berdosa bila si Yahudi/Majusy tidak berkenan dengan itu".
ولو قال لذمي : يا كافر ، يأثم إن شق عليه ، كذا في القنية.
"Kalau ada yang berkata pada Dzimmy: 'Hei Kafir!', maka dia dianggap berdosa bila si Dzimmy tidak berkenan dengan itu. Demikian yang ada dalam kitab al-Qinyah".
Wallahua`lam
Satu hal untuk lebih berimbang, kami paparkan juga beberapa orang yang menolak konsep penggantian kata kafir menjadi nonmuslim, berikut ini saya ambilkan dari Ustadz Al-Falihin
Istilah Warga Negara Non Muslim, Bukti Pembebekan Intelektual dan Daur Ulang Ideologi Sampah Kaum Liberalis
Dicetuskannya istilah "Muwathin/Muwathinun" atau "Warga Negara Non Muslim" sebagai hasil keputusan bahtsul masail dalam Munas NU di Banjar kemarin itu ternyata tidak lain adalah sampah daur ulang yg pernah dicetuskan oleh seorang liberalis Mesir bernama Mahmud Fahmi Abdurrazzaq Huwaidi atau yg lebih dikenal dgn nama Fahmi Huwaidi.
Orang inilah yang dalam sebuah artikelnya yang berjudul Watsaniyûn Hum ‘Abadatun Nushûsh (Paganis itu adalah mereka yang menyembah nash-nash Syari’at) menjuluki orang Islam (muslim) yang berpegang teguh dgn nash syariat sebagai orang kolot dan paganis (musyrik). Dia menggambarkan hal tersebut sebagai paganisme baru (watsaniyah jadîdah). Read more: https://almanhaj.or.id/3129-islam-dan-liberalisme.html
Pemikiran keblinger tokoh inilah yg kemudian diadopsi oleh para tokoh JIL di Indonesia semisal Ulil Abshar Abdalla.
Di tahun 2003, dalam artikel yg ditulisnya, Ulil mengatakan sbb,
"Ada sebuah buku yang saya baca baru-baru ini, karangan Fahmi Huwaidi, penulis Mesir yang mewakili kalangan enlightened Islamist, berjudul 'Muwathinun La Dzimmiyyun” (Warga Negara, Bukan Orang-Orang Dzimmi). Buku itu memberikan interpretasi yang sangat baik dan kritis mengenai hubungan antara warga negara Muslim dan warga negara non-Muslim. Dengan sangat jelas dan tanpa tedeng aling-aling, Huwaidi mengatakan bahwa konsep klasik tentang dzimmi (warga negara non-muslim yang dilindungi), meskipun workable pada zamannya, sudah tidak bisa lagi dipakai sekarang ini." (Fahmi Huwaidi dan Konsep “Dzimmah” oleh Ulil Abshar Abdalla di situs: islamlib.com/ag…/minoritas/fahmi-huwaidi-dan-konsep-dzimmah/)
Kaum Liberalis yg mengaku menolak sikap "pembebekan intelektual" yang tak kritis terhadap apa-apa yang datang dari “luar”; entah “luar” itu diartikan “barat” atau “timur”, faktanya justru melakukan pembebekan intelektual kepada seorang Fahmi Huwaidiy dalam konsep warga negara nonmuslim. Menurutnya, umat Islam tidak bisa menghindar dari kenyataan baru yang sama sekali berbeda di mana dasar “keanggotaan dalam sebuah negara” ditentukan bukan oleh agama, tetapi oleh prinsip muwathanah, atau nasionalitas. Yang menghubungkan antara satu dan lain orang dalam sebuah negara bukan karena mereka satu agama, tetapi karena kesatuan nasionalitas.
Di tahun 2015, isu tentang istilah warga negara non muslim ini pernah dicoba diangkat kembali melalui sebuah buku yg ditulis oleh pemikir liberal M. Guntur Romli, "Islam Kita Islam Nusantara". Rujukannya dalam hal ini pun sama sekali tidak berbeda, yaitu: Fahmi Huwaidi. (Lihat gambar ss)
Dan di tahun 2019 ini, barang dagangan ini pun dicoba untuk diedarkan lagi di pasaran dgn dibungkus kemasan cantik bernama bahtsul masail, dan dgn merek pemasaran bernama Hasil Keputusan Munas Alim Ulama NU, yg kemudian dipasarkan melalui sebuah lapak marketplace bernama Islam Nusantara yg dikesankan anti diskriminatif supaya lebih menarik minat banyak konsumen.
Comments
Post a Comment